branding
Posted in

Mengenal Pain Point Pelanggan, Berikut Manfaat dan Cara Identifikasinya

chubbyrawit-instagram

 

Pain Point adalah

Apakah Anda pernah melihat produk yang fiturnya lebih lengkap dan teknologinya lebih canggih namun kalah bersaing dengan produk yang lebih sederhana? Faktanya, banyak produk yang keren dan canggih justru tidak laku di pasaran, misalnya saja Google Glass dan iPod Hi-Fi.

Lantas, mengapa hal ini bisa terjadi? Jawabannya sederhana, karena produk yang ditawarkan tidak dapat menjawab kebutuhan dan permasalahan konsumen. Entah karena harganya yang terlalu mahal, perangkatnya yang justru menyulitkan pengguna, hingga potensi terjadinya cyber crime akibat teknologi yang terlalu canggih. 

Alih-alih menyelesaikan masalah pengguna, produk ini justru memunculkan potensi masalah baru. Oleh karena itu, penting sekali untuk bisnis memahami pain point pelanggan supaya produk atau layanan yang ditawarkan sesuai dengan yang dibutuhkan.

Apa itu Pain Point Pelanggan?

Dari kata ‘pain’ dalam pain point, kita tahu bahwa pain point pelanggan merujuk kepada sesuatu yang tidak enak atau tidak nyaman bagi pelanggan. Mudahnya, pain point adalah masalah yang dialami pelanggan. Masalah inilah yang kemudian dijadikan peluang untuk mengembangkan sebuah bisnis. Contohnya, karena ada orang yang sering merasa kesakitan setelah duduk berjam-jam ketika bekerja, dibentuklah bisnis kursi ergonomis. 

Dalam bukunya “This is Marketing”, Seth Godin kerap kali mengungkapkan pentingnya mengidentifikasi pain point pelanggan dalam kegiatan marketing. “Marketing is the generous act of helping someone solve a problem. Their problem,” tulis Seth Godin. Dengan memahami pain point pelanggan, akan lebih mudah bagi bisnis untuk menentukan target market yang spesifik dan menyampaikan brand message yang relevan.   

Manfaat Memahami Pain Point untuk Bisnis

Banyak keuntungan yang bisa kita dapatkan dengan memahami pain point pelanggan, baik sebagai pemilik bisnis maupun sebagai marketer. Penasaran apa saja manfaatnya? Yuk simak selengkapnya di bawah inI!

1. Meningkatkan ketertarikan konsumen

Coba bandingkan kedua kalimat ini: ‘Dapatkan segera aplikasi digital book dengan fitur audio book dan fitur dark mode terbaru’ dan ‘Dapatkan segera aplikasi digital book untuk kamu yang ingin membaca puluhan buku tanpa menghabiskan banyak uang, lengkap dengan fitur dark mode agar matamu tidak lelah ketika membaca di malam hari.’

Mana kalimat yang menurut Anda lebih menarik? Pasti kebanyakan dari Anda memilih kalimat kedua. Mengapa? Karena kalimat kedua memaparkan dengan jelas bagaimana produk yang ditawarkan bisa menjadi solusi atas pain point pelanggan. Dengan memahami pain point pelanggan dan menjadikan bisnis kita sebagai solusi yang dapat membawa mereka keluar dari masalah, mereka tidak akan berpikir dua kali untuk membeli produk atau layanan yang kita tawarkan. 

2. Memaksimalkan customer satisfaction

Jika Anda mengetahui pain point pelanggan, tentu Anda akan berusaha semaksimal mungkin agar produk atau layanan Anda tidak menimbulkan masalah lain bagi pelanggan, termasuk dalam proses pre-purchase dan post-purchase. Misalnya, salah satu pain point customer Anda adalah proses pembayaran yang ribet, maka Anda sebagai bisnis harus menyediakan berbagai opsi pembayaran, termasuk pembayaran menggunakan e-wallet yang lebih praktis.

Dengan mempertimbangkan pain point pelanggan dalam seluruh kegiatan marketing dan operasional, pelanggan akan mendapatkan kepuasan yang maksimal sehingga customer satisfaction ikut meningkat. Alhasil, rating produk menjadi lebih tinggi dan review positif yang diberikan akan mengundang customer lain untuk ikut menggunakan produk atau layanan Anda.  

3. Meminimalisir bad experience

Memahami pain point pelanggan merupakan salah satu kunci untuk memenuhi ekspektasi pelanggan dan meminimalisir keluhan. Jika apa yang Anda tawarkan berhasil memenuhi ekspektasi, itu berarti pelanggan Anda mendapatkan pengalaman baik (good experience). Sebaliknya, jika produk atau layanan Anda lebih rendah dari ekspektasi maka pelanggan akan menganggapnya sebagai bad purchase dan tidak akan ragu untuk meninggalkan brand Anda.  

Kenali pain point customer dan hindari hal-hal yang dapat memicu pain point tersebut. Misalnya customer Anda membenci pakaian yang terlalu ketat. Anda bisa mengatasinya dengan memberi size chart yang akurat dan menawarkan pakaian yang oversized. Usahakan selalu aktif berinteraksi dengan audiens dan cepat tanggap dalam menyikapi keluhan supaya customer tidak menganggapnya sebagai pengalaman buruk (bad experience) dan kejadian yang sama tidak terulang lagi di masa mendatang. 

4. Membangun customer loyalty

Coba ingat-ingat lagi salah seorang sahabat atau keluarga Anda yang begitu pengertian, selalu mendengarkan Anda, dan selalu memahami masalah-masalah yang terjadi di hidup Anda. Apakah Anda akan meninggalkan orang seperti itu? Tentu tidak! 

Prinsip ini juga berlaku pada brand. Apabila sebuah brand datang ke dalam hidup Anda dan menawarkan segala kemudahan yang Anda butuhkan sekaligus menyelesaikan pain point Anda, tentu tidak akan semudah itu untuk meninggalkan brand ini. Justru Anda akan merasa brand ini telah berjasa dalam hidup Anda dan Anda rela memberi dukungan penuh supaya brand ini bisa terus berkembang.

Inilah salah satu keuntungan dari pemahaman yang baik terhadap pain point pelanggan. Jika Anda bisa memahami apa yang customer rasakan dan pain point apa yang selama ini mereka hadapi, mereka akan selalu loyal terhadap brand Anda. 

Tingkatan Pain Points Pelanggan

Mungkin mengidentifikasi pain point terlihat sederhana, namun nyatanya ada beberapa tingkatan pain point yang harus kita ketahui untuk bisa memahami pain point pelanggan secara mendalam. Ketiga tingkatan pain points ini diulas secara komprehensif oleh Donald Miller dalam bukunya ‘Building A Story Brand’. Tapi jangan khawatir, semuanya akan dijelaskan satu per satu dengan bahasa yang mudah dimengerti!

1. Masalah eksternal (external problem)

Masalah eksternal cenderung lebih mudah untuk diidentifikasi. Masalah ini mengacu kepada pain point pelanggan yang bersifat fisik dan tangible. Misalnya saja bisnis restoran yang menyelesaikan external problem berupa rasa lapar. Bisa juga kursi pijat untuk mengatasi external problem berupa rasa lelah selepas bekerja. 

Pain point seperti rasa lapar dan rasa lelah inilah yang kemudian kita sebut sebagai external problem dan kita jadikan tumpuan untuk beranjak ke tingkatan selanjutnya.  

2. Masalah internal (internal problem)

Untuk apa kita mencari tahu internal problem pelanggan? Jawabannya mudah, karena pelanggan tidak membeli produk atau layanan Anda hanya karena apa yang Anda tawarkan bisa menyelesaikan masalah eksternal mereka. Customer tidak datang ke restoran hanya karena ingin menghilangkan rasa laparnya. Lantas, apa yang membuat mereka datang dan mencari bisnis Anda? Disinilah peran penting dari internal problem.

Masalah internal lebih menekankan kepada apa yang dirasakan konsumen, sesuatu yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Pain point ini mencakup rasa frustrasi akibat external problem tadi. Misalnya jika Anda memiliki bisnis desain interior, mungkin external problem dari customer adalah rumah yang berantakan dan tidak tertata. Di lain sisi, internal problem customer bisa jadi rasa malu apabila ada teman atau tetangga yang datang ke rumah dan melihat keadaan rumah yang tidak enak dipandang. 

Dengan memahami external dan internal problem customer, brand bisa membangun hubungan yang lebih dekat dengan mereka. Buat brand message dan offering yang menunjukkan bahwa bisnis Anda dapat menyelesaikan kedua pain point tadi. Dengan begitu, customer akan lebih termotivasi untuk mencoba produk atau layanan Anda. 

3. Philosophical problem

Tingkatan pain point yang terakhir adalah philosophical problem. Sesuai dengan namanya, pain point ini lebih menekankan kepada filosofi atau value yang dianut oleh customer. Apakah brand Anda bisa memberikan meaning lebih daripada sekedar produk atau layanan? Apakah brand Anda memiliki prinsip yang sesuai dengan value dan keinginan customer? Jawaban-jawaban dari pertanyaan inilah yang bisa menuntun brand untuk menemukan philosophical problem dari target market.

Mari kita ambil contoh mobil Tesla. External problem customer adalah kebutuhan akan sebuah mobil, dilanjut dengan internal problem mereka yaitu ingin memiliki mobil dengan teknologi terbaru (early adopter). Lalu, apa philosophical problem mereka? Jawabannya bisa jadi keinginan untuk bisa menyelamatkan lingkungan melalui pilihan mobil yang mereka tentukan. Tesla bisa menjawab philosophical problem ini dengan menawarkan mobil listrik yang ramah lingkungan.

Contoh lainnya adalah bisnis makanan hewan yang memiliki prinsip bahwa hewan sekalipun berhak mendapat makanan sehat dan bergizi. Orang yang sangat mencintai hewan akan merasa brand ini memiliki value yang cocok dengan dirinya dan tergugah untuk membeli  produk dari bisnis tersebut. Dari kedua contoh ini, kita bisa melihat bagaimana brand harus bisa memahami value target market dan menyesuaikannya dengan brand message serta prinsip dasar brand.       

Cara Mengidentifikasi Pain Point Pelanggan

Setelah memahami tingkatan pain point, it’s time to take action. Sekarang waktunya membahas langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mengidentifikasi pain point pelanggan. Ikuti langkah-langkah di bawah ini ya!

1. Tuliskan seluruh benefit produk atau layanan Anda

Pertama-tama, pahami apa yang sebenarnya bisa diberikan oleh produk atau layanan Anda untuk meningkatkan kualitas hidup customer. Benefit apa yang bisa Anda berikan untuk mereka? Mungkin produk Anda bisa membuat mereka menghemat waktu, menghemat tenaga, atau bahkan menghemat biaya. Catat seluruh benefit produk/layanan Anda.

Setelah mengetahui benefit yang bisa diberikan kepada pelanggan, akan lebih mudah untuk mengetahui pain point yang bisa diselesaikan oleh produk atau layanan Anda. Misalnya jika Anda menjual robot pembersih lantai yang bisa menghemat waktu dan tenaga customer, maka pain point yang bisa Anda selesaikan antara lain waktu yang terbuang untuk membersihkan rumah, rumah yang berantakan, rasa lelah dan frustrasi karena harus membersihkan rumah, dan sebagainya. 

2. Lakukan riset kualitatif

Langkah selanjutnya adalah melakukan riset kualitatif. Supaya insight yang didapat lebih komprehensif, Anda bisa melakukan FGD (Focus Group Discussion) dan in-depth interview guna menggali pain point pelanggan. Mari kita ambil contoh robot pembersih rumah tadi. Beberapa pertanyaan yang bisa diajukan antara lain: 

  • Menurut Anda, apa kesulitan terbesar yang sering Anda hadapi ketika membersihkan rumah? 
  • Bagaimana perasaan Anda ketika melihat rumah yang berantakan? 
  • Apa yang menjadi pertimbangan Anda ketika membeli alat-alat kebersihan? 
  • Apa tantangan terbesar dalam menggunakan alat-alat tersebut? 

Sembari menggali insight terkait pain point pelanggan, Anda juga bisa mencari tahu terkait kebutuhan dan keinginan customer, aktivitas sehari-hari mereka, dimana mereka membeli produk-produk sejenis, dan sebagainya. Informasi ini akan sangat berguna ketika Anda ingin membuat buyer persona di tahapan keempat. 

3. Cek review secara berkala

Sebagai pemilik bisnis, mengecek review dan feedback dari customer sudah merupakan kewajiban rutin yang harus dilakukan. Dengan melihat berbagai ulasan dari pelanggan, Anda bisa mengerti apa yang mereka rasakan ketika menggunakan produk/layanan Anda sekaligus melihat pain point yang mereka alami setelah melakukan purchase

Ketika mengecek review, Anda dapat membalas komentar customer dan membangun interaksi dengan mereka guna menjalin relasi yang baik. Gali informasi yang lebih mendalam terkait keluhan customer dan mengapa hal itu bisa terjadi. Dengan begitu, akan lebih mudah bagi Anda untuk mencegah hal yang sama terulang di masa mendatang. 

Berikan sesuatu sebagai permohonan maaf supaya customer tidak kecewa dan meninggalkan brand Anda. Anda bisa menggantinya dengan produk baru, memberikan voucher diskon untuk pembelian selanjutnya, ataupun memberikan freebies secara gratis untuk menunjukkan bahwa Anda bersungguh-sungguh dalam menangani keluhan customer

4. Membuat buyer persona

Buyer persona adalah sebuah karakter yang dibuat untuk memudahkan brand dalam mengenali target marketnya. Buyer persona ini mencakup karakteristik demografis customer seperti umur, status, jenis kelamin, pendapatan atau pengeluaran per bulan, serta karakteristik psikografis seperti goals, needs, motivators, dan tentunya pain point customer. Dengan membuat buyer persona, Anda bisa melihat lebih jelas apa saja pain point yang dimiliki target market dan apa yang mereka butuhkan dari produk Anda. 

Baca juga: Begini Caranya Membuat Buyer Persona 

5. Temukan underlying needs dan problem persona

Langkah ini adalah langkah yang paling sulit dan seringkali terlewatkan oleh brand. Sebelumnya, apa itu underlying needs? Underlying needs adalah kebutuhan yang kita sendiri tidak sadar bahwa kita membutuhkannya. Lho, maksudnya bagaimana tuh? 

Misalnya saja Gojek. Dulu, kita tidak pernah menyangka bahwa aplikasi ojek online akan menjadi kebutuhan kita saat ini. Alih-alih mengatakan kita butuh ojek online, kita hanya sadar bahwa kita seringkali kesulitan mencari ojek dan meragukan keamanan ojek pangkalan. Ini jugalah yang menjadi pain point kita. Akan tetapi, Gojek berhasil menemukan underlying needs target market, yakni kebutuhan akan adanya ojek online yang bisa dipanggil dengan mudah dan terjamin keamanannya, sehingga terciptalah aplikasi Gojek ini. 

Jadi, dapat dikatakan underlying needs adalah kebutuhan tersirat dari target market. Tugas brand adalah mencari tahu dan menyadarkan target market bahwa mereka sebenarnya memiliki ‘needs’ ini. Untuk menemukan underlying needs, Anda bisa menggunakan tools bantuan seperti consumer journey dan empathy map. Dengan mencari tahu underlying needs dan problem dari buyer persona, Anda bisa memaksimalkan benefit dari produk atau layanan yang Anda tawarkan sekaligus menjadikannya sebagai USP dari bisnis Anda. 

6. Uji coba hasil riset pain point Anda

Ingat, tidak ada hasil riset yang 100% benar dan sempurna. Untuk mengetahuinya, Anda perlu menguji hasil riset Anda. Cobalah buat brand message berdasarkan hasil riset pain point yang Anda temukan. Apakah pesan itu berhasil menarik target market Anda? Atau sebenarnya ada pain point lain yang terlewatkan? Jika Anda merasa insight terkait pain point pelanggan Anda masih kurang lengkap dan mendalam, jangan ragu untuk mengadakan riset lebih lanjut guna melengkapi insight yang telah Anda temukan. 

Bagaimana? Ternyata banyak sekali bukan benefit yang bisa Anda dapatkan dengan mengidentifikasi pain point pelanggan? Pada dasarnya, kita sebagai customer tentu akan mencari produk yang bisa memudahkan hidup kita dan mampu menyelesaikan pain point kita, baik pain point secara fisik maupun psikis. 

Tinggalkan kontak Anda di bawah ini jika Anda ingin bantuan Chubby Rawit untuk mengidentifikasi pain point pelanggan dan merancang brand message yang efektif untuk bisnis Anda. Let’s grow your business with us!